Minggu, 27 Juni 2010

PAWON

Pawon

Angin berhembus dengan kencangnya. Ia marah! Hingga menghembuskan butiran- burtiran yang berwarna coklat sejauh mata memandang. Sampah- sampah plastika yang tercecer berserakan, melayang- layang seperti layangan yang telah putus dari senarnya. Suara dari bilik bambu yang hampir terlepas dari kayu terdenngar meraung- raung karena sebagian tubuhnya masih terkait paku yang menancap kuat di kayu yang sudah tua renta. Gubug kecil dari anyaman bambu itu masih beridri tegak ditengah padang pasir tak jauh dari lautan, seperti fatamorgana. Sipa yang akan peduli!

Lastri hanya memakai kebaya lusuh dan tapih melilit di tubuhnya. Ia terududuk dengan tatapan yang kosong sambil memagang bambu semprong yang sudah menghitam karena asap pawon. Panji gribiknya yang berisikan air sudah mendidih sedari tadi diatas kepulan api yang menjilat- jilat sambil merangkak berusaha untuk melumat sepenuhnya gribik.

“lastri, aranku lastri, njagong nggal dina nang ngarep pawon, gawe sega!”

Lastri mengetuk- ngetukan bambu semprongnya di sisi samping pawon masih dengan tatapan matanya yang kosong. Kepulan asap semakin terlihat dari panci gribignya karena didihan air memuntahkan uap- uap. Peluhnya mulai mengalir. Rambutnya mulai basah oleh keringatnya sendiri.

“ lastri, aranku lastri. Saben dina kerja ngarep pawon nggawe sega, ngracik bumbu nganggo weteng, hudu nggo aku, tapi nggo awakmu, nggo awak sing ora aku kenal!”

Lastri masih duduk di depan pawon. Dilihatnya air yang semakin mendidih, menciptakan bulatan- bulatan udara yang menyembul ke keluar. Tanganya yang masih memagang bambu semprong masih mengetuk- ngetukan bambu di sisi samping pawon semakin lama semakin melemah dan akhirnya berhenti. Dilihatnya kembali air yang mendidih digribig sesaat. Lastri berdiri perlahan, dimasukanya bambu semprong ke dalam gribig yang sedang mendidihkan air. Tatapanya masih kosong. Keringatnya semakin membanjiri tanganya yang kepanasan. Suara angin tidak lagi terdengar. Hening. Hampa. Tokekpun sulit bersuara karena pita suaranya di jerat oleh energi lastri yang kelam dan hitam.

Tangan lastri mengaduk pelan. Menikmati air mendidih yang semakin lama semakin membentuk pusaran. Berputar. Jikapun ada kapal yang berlayar saat inijuga maka pancu gribignya pasti akan menenggelamkan kapal itu hingga kedasar yang paling dalam. Semua penumpangnya akan mati. Dan tidak akan lagi muncul ke permukaan. Binasa.

Lastri semakin kencang memutar bambu semprongnya. Semakin kencang, semakin kencang, kencang dan kencang. Wajahnya berkeringat. Matanya terfokus pada lingkaran pusaran .

“bruak!!”

Pecah. Panci gribignya pecah, hingga airnya yang mendidih mematikan denagn sekejap api yang membara di pawon. Asap mengepul. Menjulang tinggi keatas atap yang hanya di tutupi oleh jeerami yang sudah tua dan menghitam. Lastri terengah, nafasnya tidak teratur. Terlihat kebencian yang terpancar jelas hingga sekujur tubuhnya basah oleh kriangat. Dilihatnya pawon yang terbuat dari tanah liatyang sudah menghitam dengan kepulan asap yang belum mereda. Bara- bara berkedip meminta tolong dihidupkan kembali. Namun siapa yang akan peduli.

“ aku lastri, saben dina njagong ngarep pawon nggawe sega!”

Sabtu, 26 Juni 2010

Tuan Kangen

hai kau tuan kangen
tau kah kau jika aku sangat rindu padamu.....
seenaknya mencumbuku
hingga suciku