Kamis, 21 Juni 2012

Lelaki Tanpa Nama di Malam yang Sendu Waktu Itu. Malam ini… Sepertinya angin kembali menyapaku dalam sunyi. Dulu…., dulu saat aku baru pertama kali mengenalnya tidak pernah aku merasakan betapa hangat semilirnya. aku menutup pakaianku untuk menghalaunya pergi, menghalau semilir dingin yang sebenarnya di kirim menyejukanku. Hatiku. Aku pun baru tahu karenanya jika rasanya sejuk, rasanya hangat seperti saat membaca kata-kata yang di tulisnya dari berlembar-lembar kertas yang telah usang dikirim ketempat dimanapun aku berada. Dan mulai saat itu, aku telah mengenalnya. Kedamaian. Kerinduan. Bulan malam ini…… Membuatku duduk diam hanya memandanginya. Bentuknya bulat, mungkin bulan malam ini adalah bulan purnama. Warna orangenya saja terang benderang, tidak seterang matahari namun bisa membuatmu selalu akan merasakan kerinduan jika memandanginya. Aku pikir, dia pasti kesepian…., langit malam ini tidak berbintang, hanya terlihat gumpalan awan gempal berwarna hitam. namun aku juga berpikir, mungkin dia suka sendiri. Dia hanya sudi datang jika malam, saat aku, kamu dan kalian nikmat terlelap hingga tidak ada perbincangan. Ya, mungkin seperti itu, atau mungkin aku yang berfikir salah. Aku juga tidak tahu, namun…. Bulan malam ini mengingatkanku pertama kali bertemu dengannya. Malam itu, aku mulai menyukai kakiku yang berjalan menapaki bumi, selangkah demi selangkah dia membawa kemanapun aku pergi dengan menopang tubuhku yang besar ini. Rasanya……, karena dialah aku semakin menyukai malam hari, dan juga angin di malam hari. Aku tidak perlu berteriak dan menghujat saat kesal, menangis di sudut kamar seolah akulah yang paling menderita, atau hanya duduk termenung meratapi diri saat di campakan. cukup hanya dengan berjalan dimalam hari dan merasakan angin yang menyatu dengan tubuhku maka aku akan sangat damai. Terasa aku telah jatuh cinta hanya dengan memegangnya di malam hari. Aku tenang. Dulu…… saat aku belum mengenal “dia” dan malam, belum pula mengenal angin saat malam. jika aku pergi dari satu tempat ke tempat yang lain, aku benci untuk keluar dari tempat persembunyian. Berhadapan dengan siang seolah adalah neraka buatku. Sedangkan berhadapan dengan malam adalah bencana bagiku. Bersentuhan dengan yang lain menjadi haram untukku, seolah tidak sudi jika aku berbagi sedikit saja sentuhan-sentuhan kasih dengan manusia lain. Aku pikir, untuk apa? Toh mereka tidak menghidupi dan peduli. Percaya pada manusia-manusia itu akan menjerumuskanku ke terombang-ambingan yang kemudian menenggelamkanku di laut, sendirian. Apa mereka akan mengulurkan tangan saat aku tenggelam?. Aku menjadi sangat congkak, angkuh dan hanya mau memikirkan diri sendiri. Manusia lain bagiku seperti toping toping ice cream yang bisa di pilih atau bahkan tidak aku nikmati sedikitpun. Pasti kau pikir aku adalah manusia menyebalkan. Aku tidak perduli! Malam itu, sudah sangat larut. Entah kenapa aku tidak ingin pulang untuk mengistirahatkan diri. Rasanya ada sesuatu yang hilang dan dadaku sangat sakit. Dan kehilangan itu membuatku hanya terdiam di sisi jalan. “Aku harus mencari sesuatu yang hilang itu!” pikirku. Karena aku merasa terganggu dan tidak nyaman dengan hilang itu. Beberapa kendaraan sempat berhenti di depanku dan menawarkan tumpangan padaku. Aku hanya terdiam. Rasanya walaupun supir itu berteriak beberapa kali memanggil, aku tidak mendengar suaranya. Hanya melihat mimik wajahnya yang berharap aku mau menambahkan sedikit setoran di kantongnya. Namun aku hanya diam. Dan pada akhirnya diapun pergi. Malam itu entah sudah keberapa kali aku seperti ini, seolah ada yang hilang, separuh nyawaku entah kemana. sepi, aku tidak merasa sedih namun tiba-tiba menangis, di saat aku harus tertawa tiba-tiba terdiam, kosong, entah apa yang aku pikirkan juga tidak tahu. dan malam itu akhirnya aku yang angkuh, memenuhi panggilan malam. aku mendengar seperti ada yang memanggil dan menyuruhku untuk di temukan. Siapa? Aku pun tidak tahu. Manusiakah? Yang tak terlihatkah? Atau hanya perasaanku saja? Ah…. Mana aku tahu. Yang aku tahu saat ini dadaku semakin berdebar, mungkin akan sama seperti debaran-debaran mereka yang lari marathon beribu meter. Kencang! Dan aku kesal! Masih merasa limbung, aku hanya berjalan sambil melihat kakiku yang melangkah. Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Empat langkah. Lima langkah. Enam langkah. Tujuh langkah. Delapan langkah. Sembilan langkah. Kemudian aku berhenti menghitung. Hanya memandangi kakiku yang terus melangkah di atas aspal yang kotor penuh debu dan sesekali terlihat onggokan sampah yang berdiam diri meminta belas kasihan padaku untuk di kembalikan ke tempat seharusnya dia berada. Aku berpikir…. Aku lupa kapan terakhir kali kulit kakiku ini menyentuh bumi. Aku selalu mengalasinya dengan alas-alas yang bermerk supaya indah di pandang mata hingga aku lupa bagaimana rasanya kulit telapak kakiku ini yang menapak telanjang. Sekali lagi aku melihat kakiku yang melangkah. Aku merasa sedih kemudian karena baru menyadari jika sudah sekian lama kakiku ini aku bungkam di ruang sempit hingga sakit. Aku merasakannya, tapi bagaimana bisa aku tidak menghiraukannya?!! Aku berhenti sejenak. Aku lepas sepatu itu satu persatu. Kaki kananku lah yang pertama menapak bumi tanpa alas, kemudian kaki kiriku. Rasanya panas, mungkin ini sisa panas matahari siang tadi. Aku mencoba berjalan. Aku nikmati rasa jalan beraspal ini di malam hari. sesekali bibirku senyum nyiyir karena tertusuk bebatuan kecil. satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Empat langkah. Lima langkah. Enam langkah. Tujuh langkah. Delapan langkah. Sembilan langkah. Aku menikmatinya….. Aku terhenti setelah menatap kedepan. sunyi. Tidak ada kendaraan yang lewat, atau pemuda yang menggoda ataupula pedagang yang mulai pulang. Seharusnya tenang, namun aku dipikiranku tiba-tiba berteriak-teriak kegirangan, jantungku mulai kembali berdebar. Aku melihatnya, Dia yang memakai jubah hitam berdiri memandang bulan berwarna orange, tidak ada bintang, yang ada hanya gumpalan awan hitam. selangkah demi selangkah aku mendekatinya. Sedikit-demi sedikit aku melihat air yang jatuh dari matanya. Dan saat itu pula aku turut merasakan sakitnya. Aku pernah mendengar dari sahabat lama, pertama kali dia bertemu dengan seorang perempuan dan perama kali pula dia langsung mengatakan jika perempuan itu adalah bagian darinya. aku pikir itu hanyalah bualannya. Namun…. Sekarang aku bisa merasakannya. Jika lelaki yang baru aku temui yang berdiri sendu di depanku inilah yang memintaku untuk menjemputnya dan menyentuh tangannya. Di sepanjang malam itu, aku hanya memandangi lelaki tanpa nama itu yang sedang berdiri di atas jembatan dengan temaram lampu orange. Tubuhnya gemetar, tangannya mengepal keras, arah pandangannya masih ke atas, menatap langit yang semakin kelam. Untuk pertama kalinya, aku merasakan jika manusia di hadapanku ini adalah manusia yang berbeda dari manusia – manusia lain yang membuatku tidak rela untuk meninggalkannya, lelaki ini adalah lelaki yang berbeda. Dan untuk pertama kalinya, Ingin aku menghampirinya dan memegang tanganya di dalam genggaman tanganku. Aku ingin menjadi langit yang di tatapa dengan matanya yang sendu tanpa malu, aku ingin menjadi semilir angin untuknya yang sedang kepanasan di saat malam. Satu langkah, aku mulai mendekatinya. Dua langkah, aku masih memandangnya yang sendu, aku menyukainya, menyukai air matanya yang tidak malu untuk menenangkannya, menyukai tatapannya pada langit sambil berbicara apa yang dia rasakan hingga dia rela menunjukan air matanya. Entah mengapa aku menyukai dia yang berdiri sendiri di malam hari sambil mengadu pada semesta. Tiga langkah, aku mulai ingin mengenalnya. Ingin berbagi cerita tentang aku yang sangat membenci manusia, aku yang hanya berbicara dengan diri sendiri, dan lebih suka menyendiri. Empat langkah, lima langkah, aku ingin segera berdiri di sampingnya menemaninya memandang langit yang penuh dengan gumpalan awan. Enam langkah, tujuh langkah, delapan langkah, aku semakin dekat dengannya, semakin melihat wajahnya. Sembilan langkah aku menangis, aku menemukan sesuatu yang hilang itu, ya… entah mengapa aku percaya jika manusia di depanku ini adalah sesuatu yang hilang itu. Aku tidak mau mengganggunya yang sedang mengadu. Dan saat itu pula, aku langsung berfikir jika lelaki tanpa nama di depanku yang sendu ini adalah lelaki yang bisa menerimaku untuk saling menjaga dan saling berbagi. 21 Juni 2012 14.29 Siti Anisah END.