Minggu, 08 Februari 2015

Missing You



Seorang teman berkata "aku kan slh satu penggemar cerpenmu sing ditulis nang buku ganu...urung rampung nulis ge tak jaluk..."  - "Aku kan salah satu penggemar cerpenmu yang ditulis dibuku dulu... belum selesai nulis juga udah saya minta..."


*hening

Kamis, 01 Mei 2014

Curhatan Galau

Ini pertama kali gw nulis lagi di sini. gw dulu suka banget nulis, tapi akhir-akhir ini males buat nulis. yang ada di otak banyak banget, tapi ya gitu.... males buat nulis. dan g disangka, gw balik lagi nulis begini gara-gara urusan cinta. cih...... cinta? yoi boy.... gw lagi jatuh cinta. klasik banget yak jaman gini gw masih ngomong cinta sama masih galau gara-gara cinta. terakhir kali pacaran jaman 2010. jatuh bangun gw buat netralin perasaan sendiri. 4 tahun berlalu tapi gw rasa hasilnya biasa-biasa aja. gw masih sering bergumam tanpa sadar manggi namanya dia. sering tanpa sadar pula tiba-tiba nulis namanya dia. ckckckckck.... sampe pada akhirnya gw jatuh cinta lagi sama orang. tahun 2014 ini. gw pikir perbandingan mantan gw sama dia cukup bisa dilihat. cowo ini pemalu, minder, suka cemas, baik hati, sepetinya lugu, tapi.... ternyata mereka sama. sama-sama orang hebat yang gairah berkaryanya luar biasa. dan bikin gw minder..... gw dapet kabar dari temen yang satu sutingan sama gebetan gw, katanya sepertinya dia lagi deketin salah satu crew di sana. hooo.... hm..... sebenernya itu udah gw prediksi, sedih si.... tapi mau gimana lagi. memperjuangkan? hah..... gw jadi inget waktu terakhir gw putus. kita ngobrol bareng. waktu dia bilang hubungan kita nggak bisa lanjut, gw diem aja. tidak memperjuangkan atau menyelamatkan karena kita beda agama dan beda ras. gw diem...... mau gimana? dia tidak memperjuangkan gw, dan gw juga nggak bisa maksa kalau dia tidak memperjuangkan gw. dan pada akhirnya gw jadi mikir "sehebat apa gw sampe ada orang yang mau memperjuangkan gw?"

Kamis, 21 Juni 2012

Lelaki Tanpa Nama di Malam yang Sendu Waktu Itu. Malam ini… Sepertinya angin kembali menyapaku dalam sunyi. Dulu…., dulu saat aku baru pertama kali mengenalnya tidak pernah aku merasakan betapa hangat semilirnya. aku menutup pakaianku untuk menghalaunya pergi, menghalau semilir dingin yang sebenarnya di kirim menyejukanku. Hatiku. Aku pun baru tahu karenanya jika rasanya sejuk, rasanya hangat seperti saat membaca kata-kata yang di tulisnya dari berlembar-lembar kertas yang telah usang dikirim ketempat dimanapun aku berada. Dan mulai saat itu, aku telah mengenalnya. Kedamaian. Kerinduan. Bulan malam ini…… Membuatku duduk diam hanya memandanginya. Bentuknya bulat, mungkin bulan malam ini adalah bulan purnama. Warna orangenya saja terang benderang, tidak seterang matahari namun bisa membuatmu selalu akan merasakan kerinduan jika memandanginya. Aku pikir, dia pasti kesepian…., langit malam ini tidak berbintang, hanya terlihat gumpalan awan gempal berwarna hitam. namun aku juga berpikir, mungkin dia suka sendiri. Dia hanya sudi datang jika malam, saat aku, kamu dan kalian nikmat terlelap hingga tidak ada perbincangan. Ya, mungkin seperti itu, atau mungkin aku yang berfikir salah. Aku juga tidak tahu, namun…. Bulan malam ini mengingatkanku pertama kali bertemu dengannya. Malam itu, aku mulai menyukai kakiku yang berjalan menapaki bumi, selangkah demi selangkah dia membawa kemanapun aku pergi dengan menopang tubuhku yang besar ini. Rasanya……, karena dialah aku semakin menyukai malam hari, dan juga angin di malam hari. Aku tidak perlu berteriak dan menghujat saat kesal, menangis di sudut kamar seolah akulah yang paling menderita, atau hanya duduk termenung meratapi diri saat di campakan. cukup hanya dengan berjalan dimalam hari dan merasakan angin yang menyatu dengan tubuhku maka aku akan sangat damai. Terasa aku telah jatuh cinta hanya dengan memegangnya di malam hari. Aku tenang. Dulu…… saat aku belum mengenal “dia” dan malam, belum pula mengenal angin saat malam. jika aku pergi dari satu tempat ke tempat yang lain, aku benci untuk keluar dari tempat persembunyian. Berhadapan dengan siang seolah adalah neraka buatku. Sedangkan berhadapan dengan malam adalah bencana bagiku. Bersentuhan dengan yang lain menjadi haram untukku, seolah tidak sudi jika aku berbagi sedikit saja sentuhan-sentuhan kasih dengan manusia lain. Aku pikir, untuk apa? Toh mereka tidak menghidupi dan peduli. Percaya pada manusia-manusia itu akan menjerumuskanku ke terombang-ambingan yang kemudian menenggelamkanku di laut, sendirian. Apa mereka akan mengulurkan tangan saat aku tenggelam?. Aku menjadi sangat congkak, angkuh dan hanya mau memikirkan diri sendiri. Manusia lain bagiku seperti toping toping ice cream yang bisa di pilih atau bahkan tidak aku nikmati sedikitpun. Pasti kau pikir aku adalah manusia menyebalkan. Aku tidak perduli! Malam itu, sudah sangat larut. Entah kenapa aku tidak ingin pulang untuk mengistirahatkan diri. Rasanya ada sesuatu yang hilang dan dadaku sangat sakit. Dan kehilangan itu membuatku hanya terdiam di sisi jalan. “Aku harus mencari sesuatu yang hilang itu!” pikirku. Karena aku merasa terganggu dan tidak nyaman dengan hilang itu. Beberapa kendaraan sempat berhenti di depanku dan menawarkan tumpangan padaku. Aku hanya terdiam. Rasanya walaupun supir itu berteriak beberapa kali memanggil, aku tidak mendengar suaranya. Hanya melihat mimik wajahnya yang berharap aku mau menambahkan sedikit setoran di kantongnya. Namun aku hanya diam. Dan pada akhirnya diapun pergi. Malam itu entah sudah keberapa kali aku seperti ini, seolah ada yang hilang, separuh nyawaku entah kemana. sepi, aku tidak merasa sedih namun tiba-tiba menangis, di saat aku harus tertawa tiba-tiba terdiam, kosong, entah apa yang aku pikirkan juga tidak tahu. dan malam itu akhirnya aku yang angkuh, memenuhi panggilan malam. aku mendengar seperti ada yang memanggil dan menyuruhku untuk di temukan. Siapa? Aku pun tidak tahu. Manusiakah? Yang tak terlihatkah? Atau hanya perasaanku saja? Ah…. Mana aku tahu. Yang aku tahu saat ini dadaku semakin berdebar, mungkin akan sama seperti debaran-debaran mereka yang lari marathon beribu meter. Kencang! Dan aku kesal! Masih merasa limbung, aku hanya berjalan sambil melihat kakiku yang melangkah. Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Empat langkah. Lima langkah. Enam langkah. Tujuh langkah. Delapan langkah. Sembilan langkah. Kemudian aku berhenti menghitung. Hanya memandangi kakiku yang terus melangkah di atas aspal yang kotor penuh debu dan sesekali terlihat onggokan sampah yang berdiam diri meminta belas kasihan padaku untuk di kembalikan ke tempat seharusnya dia berada. Aku berpikir…. Aku lupa kapan terakhir kali kulit kakiku ini menyentuh bumi. Aku selalu mengalasinya dengan alas-alas yang bermerk supaya indah di pandang mata hingga aku lupa bagaimana rasanya kulit telapak kakiku ini yang menapak telanjang. Sekali lagi aku melihat kakiku yang melangkah. Aku merasa sedih kemudian karena baru menyadari jika sudah sekian lama kakiku ini aku bungkam di ruang sempit hingga sakit. Aku merasakannya, tapi bagaimana bisa aku tidak menghiraukannya?!! Aku berhenti sejenak. Aku lepas sepatu itu satu persatu. Kaki kananku lah yang pertama menapak bumi tanpa alas, kemudian kaki kiriku. Rasanya panas, mungkin ini sisa panas matahari siang tadi. Aku mencoba berjalan. Aku nikmati rasa jalan beraspal ini di malam hari. sesekali bibirku senyum nyiyir karena tertusuk bebatuan kecil. satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Empat langkah. Lima langkah. Enam langkah. Tujuh langkah. Delapan langkah. Sembilan langkah. Aku menikmatinya….. Aku terhenti setelah menatap kedepan. sunyi. Tidak ada kendaraan yang lewat, atau pemuda yang menggoda ataupula pedagang yang mulai pulang. Seharusnya tenang, namun aku dipikiranku tiba-tiba berteriak-teriak kegirangan, jantungku mulai kembali berdebar. Aku melihatnya, Dia yang memakai jubah hitam berdiri memandang bulan berwarna orange, tidak ada bintang, yang ada hanya gumpalan awan hitam. selangkah demi selangkah aku mendekatinya. Sedikit-demi sedikit aku melihat air yang jatuh dari matanya. Dan saat itu pula aku turut merasakan sakitnya. Aku pernah mendengar dari sahabat lama, pertama kali dia bertemu dengan seorang perempuan dan perama kali pula dia langsung mengatakan jika perempuan itu adalah bagian darinya. aku pikir itu hanyalah bualannya. Namun…. Sekarang aku bisa merasakannya. Jika lelaki yang baru aku temui yang berdiri sendu di depanku inilah yang memintaku untuk menjemputnya dan menyentuh tangannya. Di sepanjang malam itu, aku hanya memandangi lelaki tanpa nama itu yang sedang berdiri di atas jembatan dengan temaram lampu orange. Tubuhnya gemetar, tangannya mengepal keras, arah pandangannya masih ke atas, menatap langit yang semakin kelam. Untuk pertama kalinya, aku merasakan jika manusia di hadapanku ini adalah manusia yang berbeda dari manusia – manusia lain yang membuatku tidak rela untuk meninggalkannya, lelaki ini adalah lelaki yang berbeda. Dan untuk pertama kalinya, Ingin aku menghampirinya dan memegang tanganya di dalam genggaman tanganku. Aku ingin menjadi langit yang di tatapa dengan matanya yang sendu tanpa malu, aku ingin menjadi semilir angin untuknya yang sedang kepanasan di saat malam. Satu langkah, aku mulai mendekatinya. Dua langkah, aku masih memandangnya yang sendu, aku menyukainya, menyukai air matanya yang tidak malu untuk menenangkannya, menyukai tatapannya pada langit sambil berbicara apa yang dia rasakan hingga dia rela menunjukan air matanya. Entah mengapa aku menyukai dia yang berdiri sendiri di malam hari sambil mengadu pada semesta. Tiga langkah, aku mulai ingin mengenalnya. Ingin berbagi cerita tentang aku yang sangat membenci manusia, aku yang hanya berbicara dengan diri sendiri, dan lebih suka menyendiri. Empat langkah, lima langkah, aku ingin segera berdiri di sampingnya menemaninya memandang langit yang penuh dengan gumpalan awan. Enam langkah, tujuh langkah, delapan langkah, aku semakin dekat dengannya, semakin melihat wajahnya. Sembilan langkah aku menangis, aku menemukan sesuatu yang hilang itu, ya… entah mengapa aku percaya jika manusia di depanku ini adalah sesuatu yang hilang itu. Aku tidak mau mengganggunya yang sedang mengadu. Dan saat itu pula, aku langsung berfikir jika lelaki tanpa nama di depanku yang sendu ini adalah lelaki yang bisa menerimaku untuk saling menjaga dan saling berbagi. 21 Juni 2012 14.29 Siti Anisah END.

Minggu, 04 Desember 2011

“TOKO RASA”

Aku adalah seorang pedagang. Dan tentu saja para pembeli serta calon pembeliku menamaiku penjual. Sistem yang aku terapkan adalah sistem umum yang sudah ada sejak berabad tahun yang lalu. Dahulu di kenal dengan barter namun sekarang kita lebih mengenalnya dengan istilah jual dan beli.

Seperti yang sudah kita tahu, jika ada penjual pasti ada pembeli, ada uang ada barang, ada serah dan ada terima. Dan ini berlaku untuk barang apapun, berapun harganya tidak akan masalah bagi siapapun jika sudah menyepakati perjanjian jual dan beli ini. Aku sudah lama berdagang. Mungkin sudah belasan tahun, turun temurun dari ibuku, dan ibuku turun temurun dari neneku. Begitupula dengan neneku yang di turunkan dari buyutku. Dan aku adalah generasi ke 4 yang dengan senang hati meneruskan pekerjaan ibuku ini.

Daganganku murah, sangat murah, mungkin jika dari uangmu yang hanya dapat membeli satu permen, maka jika kau membeli padaku, kau tidak hanya mendapatkan satu, kau akan mendapatkan satu untuk pesananmu dan beberapa lagi sebagai bonus yang akan kau terima setelah merasakan efek pesananmu itu.

Tokoku tidaklah sebesar mal- mal yang menghabiskan beratus meter tanah ataupun sebesar apartemen elit yang berada di dekat rumahku atau di dekat rumahmu. Aku tahu,apartemen itu telah dikutuk oleh tanah ibu dan anak-anaknya. Buktinya gedung- gedung itu membuat banyak orang menjadi robot- robot pendengus yang sudah kita anut. Dan dari situ, Tuhan telah berubah nama tidak lagi Tuhan namun menjadi Tuan. Tokoku sangatlah kecil, lebih kecil dari zarah yang tidak akan pernah kau lihat dengan mata telanjang. Namun sebenarnya sangat besar, nyaman, teduh dan damai.

Setiap hari apa yang aku jual selalu habis. Tak pernah tersisa sedikitpun. Padahal yang aku jual sangatlah banyak. Kau mau melihat daftarnya? Bisa aku tuliskan untukmu secara singkat apa yang aku jual. Tapi..., sepertinya aku tidak jadi untuk membiarkanmu tahu dengan begitu mudah. Daganganku memang sangat murah, lebih murah dari permen lollipop pembelianmu dari toko Willy Wonka. Walaupun sangat murah namun daganganku tidaklah murahan, tidak pula pasaran, atau buat-buatan. Demi apapun, apa yang aku jual sangatlah murni. Tidak ada cacat sedikitpun. Karenanya akan terlalu berharga jika aku memberitahukanmu dengan begitu mudah. Itu bagimu yang tidak merasakanya. Jika kau tidak merasakanya, maka kau tidak akan bisa datang dan menemukan tokoku di dunia. Lagipula apa yang aku jual disini adalah sesuatu yang akan membuat kau bernafas. Bisa pula sesak, tergantung cerdiknya kau memilih. Karena apa yang kau ambil adalah keinginan dari yang kau beli. Kau memanggilnya, maka iapun memanggilmu, ia yang memanggilmu untuk di beli, atau kau yang menerima tawaran dari barang daganganku ini. Karena kalianlah yang saling memanggil diri. Juga kau yang menginginkanya dan dia juga menginginkanmu. Senang hati akan aku berikan dia padamu. Tapi ingatlah, apa yang sudah kau beli harus kau jaga dengan baik. Tidak perlu bunga tujuh rupa ataupun sesaji untuk membuatnya tetap terjaga. Cukup letakan saja di dalam hatimu. Karena disanalah dia hidup. Bernafas. Dan melahirkan sesuatu. Dan jika kau kembali mencarinya atau mencari yang lain, maka datanglah kembali ke tokoku. Dan bayarlah dengan hatimu.

Senin, 23 Mei 2011

PERSOCON

23 mei 2011
20:24

PERSOCON

Pagi hari,
suasana sangat hening di sebuah rumah yang sangat besar. Terlalu besar hingga kau dapat memasukan beberapa gajah ataupun jerapah kedalamnya, seperti kapal Nabi Nuh yang menyelamatkan manusia dan binatang saat bandang datang berjuta tahun yang lalu. Lalu jika kau melangkah dengan sepatu berhak tinggi maka suaranya akan menggema hingga kesemua sudut rumah. Dan siapapun akan mendengar langkahmu mendekat ataupun menjauh dari rumah yang seperti istana itu. Kau juga dapat merasakan dingin yang sangat, tenang saja, tidak akan membunuhmu, hanya akan membuatmu menggigil walau sudah memakai pakaian berlapis Sembilan sekalipun.

Rumah sudah mulai ramai, pelayan – pelayan perempuan bertubuh besi memakai pakaian pelayan mulai sibuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga. Ada yang membersihkan kaca, mengepel, memasak, membersihkan tempat tidur ataupun memasak, suasana sibuk sudah terlihat. Namun hening…, yang terdengar hanya suara dentingan wajan, dengungan mesin penyedot debu, aliran air, atau ketokan langkah dari si tubuh besi ini.

di sebuah meja makan yang terbuat dari marmer dengan panjang 3meter sudah terhidang makanan yang begitu lezat dari ujung hingga ke ujung meja, pelayan bertubuh besi ini pun masih datang untuk menaruh menu-menu makanan di atas meja hingga penuh. Seorang lelaki muda berumur sekitar 30an berparas gagah memakai setelan jas mahal duduk di ujung meja sambil memandang ke depan dengan mata berbinar dan senyum mempesona. Dilihatnya seorang yang sudah duduk di ujung meja hadapanya. Terlihat di jari lelaki itu melingkar sebuah cincin emas putih, pun dengan si perempuan.

Si lelaki : apakabar malamu?
Si perempuan : baik sekali
Si lelak : apa kau tidur dengan nyenyak?
Si perempuan : tentu saja ( sambil tersenyum )
Si lelaki : aku ingin mengajakmu keluar hari ini
Si perempuan : baik
Si lelaki : baiklah, setelah ini kau bersiap-siaplah
Si perempuan : baik

Siang hari,
suasana sangat hening di sebuah rumah yang sangat besar. Terlalu besar hingga kau dapat memasukan beberapa gajah ataupun jerapah kedalamnya, seperti kapal Nabi Nuh yang menyelamatkan manusia dan binatang saat bandang datang berjuta tahun yang lalu. Lalu jika kau melangkah dengan sepatu berhak tinggi maka suaranya akan menggema hingga kesemua sudut rumah. Dan siapun akan mendengar langkahmu mendekat ataupun menjauh dari rumah yang seperti istana itu. Kau juga dapat merasakan dingin yang sangat, tenang saja, tidak akan membunuhmu, hanya akan membuat kau menggigil walau sudah memakai pakaian berlapis Sembilan sekalipun.

Rumah sudah mulai ramai, pelayan – pelayan bertubuh besi memakai pakaian maide mulai sibuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga. Ada yang membersihkan kaca, mengepel, memasak, membersihkan tempat tidur ataupun memasak, suasana sibuk sudah terlihat. Namun hening…, yang terdengar hanya suara dentingan wajan, dengungan mesin penyedot debu, aliran air, atau ketokan langkah dari si tubuh besi ini.

di sebuah meja makan yang terbuat dari marmer dengan panjang 3meter sudah terhidang makanan yang begitu lezat dai ujung hingga ke ujung meja, pelayan bertubuh besi ini pun masih datang untuk menaruh menu-menu makanan di atas meja hingga penuh. Seorang lelaki muda berumur sekitar 30an berparas gaga memakai setelan jas mahal duduk di ujung meja sambil memandang ke depan dengan mata berbinar dan senyum mempesona. Dilihatnya seorang yang sudah duduk di ujung meja hadapanya. Terlihat di jari lelaki itu melingkar sebuha cincin emas putih, pun dengan si perempuan.

Si lelaki : apa kamu sudah siap?
Si perempuan : iya
Si lelak : baiklah, kita akan berangkat setelah makan
Si perempuan : baik

Di malam hari
suasana sangat hening di sebuah rumah yang sangat besar. Terlalu besar hingga kau dapat memasukan beberapa gajah ataupun jerapah kedalamnya, seperti kapal Nabi Nuh yang menyelamatkan manusia dan binatang saat bandang datang berjuta tahun yang lalu. Lalu jika kau melangkah dengan sepatu berhak tinggi maka suaranya akan menggema hingga kesemua sudut rumah. Dan siapun akan mendengar langkahmu mendekat ataupun menjauh dari rumah yang seperti istana itu. Kau juga dapat merasakan dingin yang sangat, tenang saja, tidak akan membunuhmu, hanya akan membuat kau menggigil walau sudah memakai pakaian berlapis Sembilan sekalipun.

Rumah sudah mulai ramai, pelayan – pelayan bertubuh besi memakai pakaian maide mulai sibuk mengerjakan berbagai pekerjaan rumah tangga. Ada yang membersihkan kaca, mengepel, memasak, membersihkan tempat tidur ataupun memasak, suasana sibuk sudah terlihat. Namun hening…, yang terdengar hanya suara dentingan wajan, dengungan mesin penyedot debu, aliran air, atau ketokan langkah dari si tubuh besi ini.

di sebuah meja makan yang terbuat dari marmer dengan panjang 3meter sudah terhidang makanan yang begitu lezat dai ujung hingga ke ujung meja, pelayan bertubuh besi ini pun masih datang untuk menaruh menu-menu makanan di atas meja hingga penuh. Seorang lelaki muda berumur sekitar 30an berparas gaga memakai setelan jas mahal duduk di ujung meja sambil memandang ke depan dengan mata berbinar dan senyum mempesona. Dilihatnya seorang yang sudah duduk di ujung meja hadapanya. Terlihat di jari lelaki itu melingkar sebuha cincin emas putih, pun dengan si perempuan.

Si lelaki : bagaimana hari ini?
Si perempuan : baik
Si lelak : apa kau senang?
Si perempuan : tentu saja ( sambil tersenyum )
Si lelaki : aku senang mendengarnya. Apakah kau besok mau pergi lagi denganku?
Si perempuan : mau
Si lelaki : baiklah, besok kita akan pergi beberapa hari, jadi siapkan pakaianmu
Si perempuan : baik

Si lelaki hanya tersenyum melihat si perempuan berbadan besi di balut gaun merah yang berkerah V. bibirnya terpoles gincu merah merekah, mengkilat seperti tubuhnya. Si perempuan hanya duduk diam sambil memandangi si lelaki yang sedang lahap memakan santapan malam.

SISA HIDUP

23 Mei 2011,
20.19

SISA HIDUP
Seorang perempuan tengah duduk di sebuah kursi goyang tua yang sudah renta. Serenta tubuhnya yang saat ini mungkin sudah berumur lebih dari 80an. Panggil saja namanya Nenek. Nenek ini menutupi badanya dengan selimut yang cukup tebal, kacamatanya ia benarkan dari posisinya yang turun. Suara cicit burung sudah menyahut sedari tadi hingga pagi hari yang begitu hening di kamar Nenek menjadi riuh hingga membuat mata terbuka. Dari jendela terlihat pepohonan remang karena kabut yang masih memutih. Putihnya seputih susu yang di tabur di hamparan sana. Nenek menggoyang-goyangkan kursinya pelan. Matanya masih memandangi kabut susu dari jendelanya yang terbuka lebar. Iapun bergumam. Dengan suaranya yang lirih dan gemetar. Sebuah puisi irama yang pernah di berikan kepadanya.

“Kupandang laut semu, tak bergaris
Ku dengar riuh angin tetap tak bernyawa, bahkan senyawa
Mati tak ada rasa
Kosong
Seperti tanah dari batas daratan yang mengubur raga
Gelap dan sunyi
Ceria itu telah hilang
Mawar kerontang
Apa salahku?
Tak di jawab angin
Awan masih biru ternyata abu-abu
Sudahlah
Aku menyerah namun tetap bertanya-tanya
Kemana bumi, namun tanah masih ada
Basah dan fana
Aku sang debu yang berterbangan di atas tanah
Ada air aku tak basah
Karena tanah aku menyerah”


Si Nenek tersenyum lembut, sehingga kerutan di wajahnya terkumpul seperti kumpulan lemak yang berlipat. Tersenyum, tersenyum lalu sedikit demi sedikit air matanya telah jatuh. Mengalir di keriput wajahnya hingga basah. Namun Nenek masih saja terus menangis memandangi kabut susu sambil terus bergumam akan syairnya.