Senin, 23 Mei 2011

SISA HIDUP

23 Mei 2011,
20.19

SISA HIDUP
Seorang perempuan tengah duduk di sebuah kursi goyang tua yang sudah renta. Serenta tubuhnya yang saat ini mungkin sudah berumur lebih dari 80an. Panggil saja namanya Nenek. Nenek ini menutupi badanya dengan selimut yang cukup tebal, kacamatanya ia benarkan dari posisinya yang turun. Suara cicit burung sudah menyahut sedari tadi hingga pagi hari yang begitu hening di kamar Nenek menjadi riuh hingga membuat mata terbuka. Dari jendela terlihat pepohonan remang karena kabut yang masih memutih. Putihnya seputih susu yang di tabur di hamparan sana. Nenek menggoyang-goyangkan kursinya pelan. Matanya masih memandangi kabut susu dari jendelanya yang terbuka lebar. Iapun bergumam. Dengan suaranya yang lirih dan gemetar. Sebuah puisi irama yang pernah di berikan kepadanya.

“Kupandang laut semu, tak bergaris
Ku dengar riuh angin tetap tak bernyawa, bahkan senyawa
Mati tak ada rasa
Kosong
Seperti tanah dari batas daratan yang mengubur raga
Gelap dan sunyi
Ceria itu telah hilang
Mawar kerontang
Apa salahku?
Tak di jawab angin
Awan masih biru ternyata abu-abu
Sudahlah
Aku menyerah namun tetap bertanya-tanya
Kemana bumi, namun tanah masih ada
Basah dan fana
Aku sang debu yang berterbangan di atas tanah
Ada air aku tak basah
Karena tanah aku menyerah”


Si Nenek tersenyum lembut, sehingga kerutan di wajahnya terkumpul seperti kumpulan lemak yang berlipat. Tersenyum, tersenyum lalu sedikit demi sedikit air matanya telah jatuh. Mengalir di keriput wajahnya hingga basah. Namun Nenek masih saja terus menangis memandangi kabut susu sambil terus bergumam akan syairnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar