Senin, 15 November 2010

SITI YANG DI HARAMKAN

SITI yang DIHARAMKAN

Namaku Siti.
Aku jatuh cinta dengan seorang China.
Bermata sipit, dan berkulit putih.

Namaku Siti
Aku jatuh cinta dengan seorang yang menyembah Yesus Kristus
Dan tidak menyembah Tuhanku yang bernama Allah S.W.T.

Namaku masih Siti
Berkulit coklat
Bermata belo
Dan keturunan jawa asli

Namaku adalah Siti
Mereka sering memanggilku melankolis
Karena aku lebih memakai hati

Namaku tetap saja Siti. Aku jatuh cinta memang dengan seorang China. Jika kau bertanya padaku “kenapa?” maka yang akan aku katakan itu adalah karena “Cinta”.
Kenalkah kau dengan kata itu?
Ah.....
Aku yakin jika kau, dan kalian sangat tahu apa itu Cinta. kalian khatam itu dan tidak perlu untuk menapaki pendidikan formal untuk mengerti dan merasakan satu kata namun memiliki arti tiada batasanya. Cinta.
suatu hari aku telah jatuh cinta denganya, seorang China yang sangat aku akui jika ia adalah orang yang lebih dari sempurna. Siapa yang tidak kenal denganya. dengan kecerdasanya. Dengan kedewasaanya. Dengan tata bahasanya. Atau dengan manjanya yang tidak akan kau tahan. Tiada yang akan menyangkal satupun walau kau tidak menaruhnya di lubuk hatimu sana. Jika diibaratkan, ia seperti paket komplit KFC yang harganya hanya 20ribuan, sepaket nasi dengan ayam dan Cola. Dan itu akan membuatmu kenyang. Merasakan nikmat renyahnya tepung yang melekat pada ayamnya. Ataupun seperti crayon yang berjumlahkan lebih dari satu lusin. Berwarna- warni warnanya hingga jika membuat apapun kau akan tetap bisa menyulapnya menjadi kertas yang penuh dengan warna. Dan akupun yakin jika kau akan sangat bahagia. Seperti pelangi. Hidupmu tidak hanya pengulangan yang akan membuatmu sendiri bosan. Itulah dia. Mantan rusuk Chinaku yang membuatku merasakan menjadi orang yang sangat beruntung seperti memenangkan sebuah lotre dan berhadiahkan pulang pergi Jepang – Jakarta selama seminggu penuh.

ya....
Siti ini telah jatuh cinta dengan seorang China. jatuh cinta dengan seseorang yang perbedaanya sangat terlihat walaupun memakai kaca mata telanjangpun. Dan siapa yang akan perduli? Apa itu kau?! Ah...., aku sangat tidak percaya. Karena kaupun ada di fihaknya. Menyetujui jika perbedaan adalah suatu alasan yang masuk akal. Bukan aku marah padamu. Namun untuk apa aku harus marah padamu yang tidak tahu menahu akan apa yang aku rasakan padanya. Apa yang telah terjadi antara aku denganya. seperti pembahasan yang sering kita berdua suarakan tetang perbedaan.

Kadang aku bertanya- tanya, apa sebenarnya arti “perbedaan” itu. Sudah serasa sangat muak aku mendengarkanya. Segala hal yang membuat perpisahan dan amarah hanya karena atas dasar perbedaan. Tolol sekali alasan itu!. apa kau pernah mendengar puisi Seruling Bambu dari Rumi? Niscaya kau akan menangis membacanya. Aku sangat menyukai puisi yang sangat indah itu hingga tak hentinya air mataku di rampas oleh keindahanya. Dan aku telah jatuh hati dengan sarinya.

Di suatu malam, di tempat kecil yang hanya berluaskan 3x4m penuh akan barang- barangnya aku terbaring di kasur bersamanya. Di atas satu bantal kepala kami yang berselisih membuat tubuh kami tidak bersentuhan namun menciptakan garis vertikal. Aku membalikan kepalaku ke arah tembok agar mataku ini tidak menatap matanya karena aku sungguh malu jika itu kulakukan. Aku tidak akan bisa berkata apapun hingga serasa lidahku kelu dan tiba- tiba aku menjadi bisu.

“lihatlah ke arahku” katanya dengan sendu. Aku yang berusaha memejamkan mata langsung melihat ke tembok putih yang berada tak jauh dari ujung hidungku. Rasanya suaranya itu bagaikan mesiu yang terlempar dari senjatanya dan langsung menghancurkan jantungku. Aku berdebar. Sungguh sangat berdebar. Bagaimana mungkin aku dapat tidur dengan wajahnya yang tepat berada di depan wajahku?!. Aku akan mati seketika karena jantungku berdebar- debar dengan cepatnya. Aku membalikan badanku. Dan sekarang, wajahku tepat berhadapan dengan wajahnya. Serasa jantungku melemah dan aku seketika akan mati. Bahkan aku dapat melihat Malaikat kematian yang memakai tudung hitam telah berdiri di atas kepalaku sambil tersenyum hendak mencabut ruh dari ragaku. Kulihat wajahnya yang bersinar terang benderang. Dan aku menjadi sekecil zarah menatap matanya.

Ada sedikit udara yang masuk dari jendelanya yang hanya tertutup oleh tirai berwarna putih. Dan aku merasa kepanasan. Mata kami saling memandang. Dalam. Lautanpun tidak akan dapat menyamakan kedalamanya dengan pandangan mata kami. Bisu. Hanya ada desah nafas kami yang terdengar lirih. Ia masih memandangku, aku berharap kepada waktu dan memohon kepadanya agar cukuplah hari ini, lambatkanlah hingga aku dapat lebih lama memandang matanya yang setengah dari mataku. Kiamatpun aku rela jika hal yang terlihat olehku adalah matanya yang sedang berbicara padaku ini. Semakin lama ia mendekatkan wajahnya ke wajahku, semakin dekat, dekat dan sangat dekat. Hingga bibirnya telah menepi di bibirku. Dia mengulumi bibirku dan aku mengulumi bibirnya pula sambil memejamkan mata. aku merasakan jika daging lembut yang aku nikmati itu seperti jelly manis hingga aku tidak mau untuk melepaskanya. Dan untuk pertama kalinya aku menikmati ciuman itu dengan rasa. Sungguh, aku semakin berdebar, aku rasa sesaat lagi aku akan mati karena debaran ini.

“hihihihihihihihihihi....” aku tertawa masih dengan menempelkan bibir kami berdua, “kenapa?” katanya heran sambil memandang mataku. Aku tak menjawabnya, hanya terus tertawa kecil. Tentu saja, ciuman terbalik ini mengingatkanku pada Spiderman. betapa anehnya ciuman kami dengan posisi terbalik ini. Ia tersenyum, sejenak membuat bibirnya tidak menempel pada bibirku. “ingin memelukmu” katanya memandangku lekat dan bibir kami kembali bertemu. Dengan posisi vertikal ini sampai kapanpun ia tidak akan pernah bisa merengkuhku. Namun, akupun sangat ingin memeluknya. Perbedaan telah menjadi dinding besar yang mebentengi, tidak hanya idealisme, namun memeluknya saja tidak akan pernah bisa sedikitpun karena ia tidaklah siap untuk menanggung cibiran akan eksistensinya. Apa lagi jika matahari telah menyapanya dengan riang. Ia akan mengumpat di kegelapan hanya untuk bersua denganku yang haram bagi agama dan rasnya.

“tidurlah di sebelahku” sesaat ia memandang mataku, ia lalu berdiri, membarigkan dan memposisikan tubuhya sejajar dengan tubuhku. Dan sekarang kami saling berpandangan. Ada sesuatu di matanya, aku melihat ia yang sedang kesepian. Sangat kesepian. Aku tahu, di dalam bola matanya itu aku hanyalah sandaran sesaat untuknya dan ia tidak ingin mengikatkan tali merah itu untuku bersamanya. Karena memang baginya aku hanyalah manusia yang di haramkan. Dan akupun tahu jika sesungguhnya ia telah menali mereh seseorang yang lain yang memang halal baginya. Aku tahu itu. Tanganya yang besar merengkuhku. Membenamkan tubuhku ke dalam dadanya yang bidang. Aku dapat merasakan jika tanganya itu sungguh besar. Dan aku dapat merasakan keamanan tiada tara serta damai yang bagaikan selimut telah membuatku hangat. Dan aku tidak mau untuk melepaskan pelukan itu sambil terus memohon kepada waktu untuk memperlambat masa yang telah memakan tiap detiknya. Ia kembali mengecupku, dan aku kembali mengulum bibirnya yang telah basah dan lembut. Sekali, dua kali, tiga kali, hingga berkali kali, hingga aku melihat ada cahaya yang telah masuk dari jendelanya yang bertirai berwarna putih. Matahari itu telah menyadarkanku akan rauangan haram yang tidak dapat kami lalui. Aku berhenti. Iapun berhenti, kami berdua saling memandang masih sambil berpelukan. Aku dapat mendengar debaran jantungnya. Hanya debaran jantungnya, tidak ada suara lain yang bersuakan selain suara debaranya. Dan waktu memang benar telah berhenti. Hingga aku dan dia telah mematung. Bukan untuk memandang saling terpesona namun karena waktu kami telah habis. Seperti Cinderella yang berlari kencang karena angka 12 telah menjemputnya walau sebenarnya ia tidak ingin untuk meninggalkan lantai dansanya bersama dengan pangeran yang ia dambakan. Dan aku memang harus menyelesaikan dengan satu kecupan untuknya.

Taukah kau jika disampingku ada sebilah samurai, aku akan melakukan Seppuku hingga kaupun akan melihat mayatku yang bersimpah darah merah segar karena aku tidak mau menjadi pagi. Aku ingin selalu menjadi malam agar selalu dapat bersamamu dan tiada lagi kata haram ataupun ketakutanmu akan eksistensi siang. Aku pandangi lagi dirinya yang sedang tertidur di depanku dengan mata yang sendu. Apakah ia tahu jika aku sedang memikirkan kematian diriku sendiri saat ini? Karena adanya perbedaan yang membuat aku dan dia tidaklah dapat hidup di atas bumi yang sedang bercumbu dengan siang hari. Apakah dia akan perduli jika ia tahu itu? peduli akan keharaman diriku untuknya membuatku merasakan kesakitan yang teramat dalam?.

Aku dan dia masih saling memandang. Kami tidak mau beranjak dari tempat tidur sedikitpun, jika aku dan dia beranjak maka selesai sudah segala hal tentangku dan tentangnya. Semuanya akan menjadi pudar. Tidak ada apa-apa. Dan semuanya akan menghilang. Dirinya. Dan diriku. Namun....., pagi ini aku dan dia harus terbangun. Menghadapi matahari yang terang benderang, dan mereka yang yang telah mengharamkan diriku walau untuk memandang dia yang ada di depanku. Aku memegang tanganya sambil tersenyum kemudian memeluk dan membenamkan tubuhku di dadanya. Kami berpelukan erat. Menghanyutkan segala rasa di lautan yang tiada akan pernah surut. Tidak ingin melepas, walaupun pagi akan membakar ku dan dia hingga hangus dan mati. Bahkan tiada bekas dan tiada orang yang tahu jika aku dan dia pernah saling berpelukan seperti ini. Namun Aku tahu jika ia tetap akan mengharamkan aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar