Rabu, 22 Desember 2010

NAMAKU WADHON ( Part 2 )

SUMUR, KASUR, DAPUR

Fatamorgana. Kata itu adalah kata yang akan terucap jika kau melihat tempat sebuah gurun pasir yang tidak akan ada habisnya sejauh matamu memandang. Panasnya tidak hanya akan membuatmu dehidrasi namun akan membuatmu membusuk dan mati. Angin memang berhembus namun hanya akan membuatmu melupakan sejenak saja panas yang tanpa sadar sudah membuat bibirmu mengelupas. Dan kau juga akan mendengarnya. Seruan- seruan itu. Seruan yang meronta miris dan tidak ada yang akan peduli. Begitu pula denganmu jika berada di sini, seruan yang di bawa angin itu akan menjadi beban yang harus di buang jauh- jauh. Seolah- olah kau tidak mendengar apapun. Untuk hidupmu sendiri di gurun saja sangatlah sulit apalagi jika harus membagi minumanmu dengan orang lain. Pasti kau tidak akan mau.

“fatamorgana...., kata siapa fatamorgana hanya ada di gurun pasir?! Hidupku adalah fatamorgana, seluruh hidupku, seluruh nafasku, seluruh tubuhku. Seluruh harapanku. Fatamorgana!”

Wadon sekarang terbaring di kasurnya. Tanpa busana. Tidakah kau dapat membayangkan bagaimana tubuh moleknya itu dapat kau jamah untuk kepuasanmu semata.

“kata bapaku, kerja perempuan hanya ada 3. Kasur, Sumur dan masak. Hanya tiga itu saja. Tidak ada yang lain. Sekarang.... aku di atas kasur, sedang bekerja untuk suamiku sendiri. kata bapaku dan agamaku, perempuan itu harus patuh dengan suami. Melayani suami apapun kondisinya. Jika tidak aku yang berdosa”.

Wadon hanya memandang langit- langit rumahnya yang berpeta- peta karena air hujan. Saat dia bosan maka ia membayangkan jika peta- peta itu adalah tujuanya kemudian, ia akan menetap di salah satu pulau yang ada di dalam peta tersebut dan akan membangun sebuah negara dimana pemimpin tidaklah masalah jika seorang perempuan. Dan tiga pekerjaan yang di katakan bapaknya itu tidak akan lagi berpengaruh sepenuhnya di negara barunya. Negara barunya akan memberikan lapangan pekerjaan yang layak. Hingga tidak akan ada lagi pelacur- pelacur jalanan yang rela mendapat bayaran hanya Rp. 20.000,00 saja untuk para lelaki yang sedang bosan dengan istri- istrinya.
Wadon bisa mendengarnya, desahan- desahan suaminya yang sedang dalam masa puncak. Bukanya Wadon tidak ingin peduli dengan apa yang di lakukan suaminya itu, iapun siap untuk melayaninya kapanpun dia mau. Namun Wadon merasa sangat bosan melakukan rutinitas yang sama. Bercumbu dengan suaminya tidak jauh berbeda dengan pelacur. Toh keduanya mendapatkan uang dan melayani lelaki. hanya saja Wadon di ikat oleh pernikahan sehingga bercumbu dengan suaminya tidaklah haram. Dan di berinya uang adalah bentuk tanggung jawab si suami padanya. wadon masih memandangi langit- langit rumahnya. Kali ini mulai terpetakan lagi karena hujan mulai turun. Deras. Ia mengerutkan dahinya. Tentu saja membuatnya berfikir ada apa dengan cuaca hari ini. Bulan ini sama sekali bukanlah musim penghujan. Tapi malam ini hujan turun begitu derasnya. Bahkan suara petir sedari tadi tidak mau berhenti menggema. Seolah sedang menunjukan jika malam ini dialah yang sekarang berkuasa.

“ bukan..., saat ini yang berkuasa adalah suamiku. Bukan kamu!”

Bagi Wadon, yang berkuasa sekarang bukanlah si petir itu, mengaung hingga menyambar banyak tempatpun tetap saja yang berkuasa saat ini adalah suaminya yang sekarang sedang menikmati tubuhnya. Sebenarnya di dalam hatinya, Wadon sedang berteriak. Ingin sekali ia mengucap berhenti. Dan ia ingin melakukan banyak hal. Tidak hanya melayani suaminya atau hanya berdiam diri di rumah. Ia ingin melakukan banyak hal, tidak hanya berguna bagi suaminya namun bagi dirinya sendiri dan orang lain.

“ ah...., siapa yang akan peduli?! Hingga ngotot ingin berguna untuk orang lainpun siapa yang peduli?! Sedangkan berguna bagi diri sendiri saja aku tidak mempunyai daya!”

Siapa yang akan peduli jika Wadon sekarang sedang meronta- ronta. Dan yang ada lagi- lagi ia akan menjadi korban cibiran- cibiran orang- orang karena tidak mau menjadi istri yang baik. Karena mereka seperti bapak, berfikir jika perempuan hanya pantas melakukan tiga hal, sumur, masak, kasur.

Umur Wadon sekarang hampir tigapuluh tahun. Ia telah menikah dengan lelaki yang bernama Badai. Lelaki yang tidak di kenalnya sama sekali. Lelaki yang di pilih bapaknya saat ia sedang dekat dengan orang lain. Lanang. Dan saat ini lelaki yang memberinya nama purnama itu tidak ada sedikitpun kabar tentangnya kata hati Wadon. Mana peduli bapaknya jika Wadon sedang dekat dengan orang lain. Jikapun peduli perjodohanya tetap berjalan sesuai dengan keinginan bapaknya. Bapaknya bilang Badai adalah orang yang tepat untuknya. Dan pasti akan dapat membahagiakanya, demi kebaikanya juga.

“bapak sok tahu...., baik kata bapak belum tentu baik buatku!”

Wadon sangat menyesalkan perkataan Bapaknya itu. Dia sama sekali tidak ingin menjadi anak yang durhaka dengan melawan ataupun membantah dalam hati sekalipun. Namun keputusan Bapaknya itu sama saja dengan pemaksaan. Hingga Wadon tidak di berikan hak bersuara memilih apa yang diinginkanya. Dan menurutnya tidak hanya sampai saat ini ia tidak boleh memilih apa yang ia ingin suarakan. Bahkan mungkin menurutnya dari lahirpun hak- haknya sudah tidak lagi miliknya namun milik ibu dan bapaknya. Dan pastinya mereka akan mengatas namakan kebaikan. Jika mereka adalah orang yang melahirkan dan membesarkanya.

Kadang Wadon bertanya- tanya. Apakah teman- temanya juga di perlakukan hal yang sama seperti dirinya?. Atau hanya dirinya saja yang mengalami nasib seperti itu. Orang tua yang hanya memutuskan sepihak bagaimana seharusnya kehidupan yang harus di jalani. Jika membantah maka kata- kata ampuh yang akan di lontarkan adalah anak durhaka! Siapa yang akan mau mendapat julukan seperti itu. Sedangkan Tuhan akan memasukan anak- anak durhaka ke dalam neraka. Dan mendekamlah Wadon di neraka. Dan siapa yang akan menolongnya di sana?! Tidak akan ada.

Setiap hari ibu dan bapaknya menayakan kapan Wadon akan memiliki anak. Sudah menikah selama bertahun- tahun kenapa tidak mempunyai anak barang satupun. Wadonpun tidak mengerti kenapa hingga sampai saat ini ia belumlah memiliki anak. Padahal tetangganya yang baru beberapa bulan saja menikah sudah dinyatakan hamil. Setiap hari suaminya mengantar kemanapun dia pergi, di jaganya hati- hati supaya dua nyawa yang menjadi tanggung hawabnya dalam keadaan baik- baik saja. Dan hamil adalah salah satu hal yang akan membuat Wadon bahagia dimana dia dapat merasakan moment mengandung selama 9 bulan. Dan bagaimanapun caranya ia harus dapat mengalami moment berharga itu. ia berjanji jika ia akan mendengarkan apapun yang ingin di lontarkan oleh anaknya. Entah nanti jika anaknya lelaki ataupun permpuan. Ia tidak akan sedikitpun secara sepihak mengambil hak anak- anaknya. Dan Wadon berjanji!.

jam di dindingnya telah menunjukan pukul 5 subuh. Wadon sebenarnya bukanlah orang yang dapat bangun sepagi itu. namun sudah sejak lama ia selalu terbangun di waktu subuh. Kata ibu dan bapaknya perempuan harus bangun pagi dan memasak. Setiap hari kata- kata itu terus di dengarnya. Hingga terasa muak. Kembali lagi Wadon bertanya, kenapa kata- kata itu tidak di lontarkan pula terhadap para lelaki. Jika Wadon harus bangun pagi dan memasak lalu kemudian apa yang di lakukan para lelaki saat itu juga? Apa mereka akan benar- benar melakukan hal yang sama? Bangun pagi lalu kemudian meracik bumbu untuk mengisi semua perut makhluk yang ada di dalam rumah.

“ namaku Wadon, duduk setiap hari di depan pawon”

Wadon yang hanya memakai kaos dan celana lusuh sudah duduk didepan pawonya. Ia sedang menunggu airnya mendidih. Kepulan asap menjulang tinggi saat Wadon meniup api pawonya dengan menggunakan sebilah kayu pendek berbentuk silinder. Pantat dan kulit pancinya langsung menghitam karena asap. Namun Wadon tidak peduli itu. yang ia lakukan malah semakin kencang meniup semprongnya maka semakin pekat pula asap dan abu bertebaran di dapurnya. Baginya semakin besar apinya akan semakin cepat airnya mendidih. Jadi ia tidak perlu berlama- lama duduk dan mengheningkan cipta sendiri di dapur. Wadon memandangi asap yang menjulang tinggi ke atas. Matahari pagi telah masuk dari sela- sela atapnya yang sedikit terbuka. Dilihatnya cahaya yang masuk itu dengan seksama. Berwarna putih. Seperti kain bidadari pelangi yang hendak terbang ke langit. Betapa indahnya sapaan di pagi harinya itu. Wadon kembali menatap pancinya yang sudah agak menghitam. Air di dalamnya belum mendidih. Hanya uap panas yang dapat di lihatnya.

“ namaku Wadon, setiap hari membuat bumbu untuk membuat sayur dan nasi. Namaku Wadon, setiap hari menunggu suami pulang kerja. Namaku Wadon. Namaku Perempuan”

Wadon kembali lagi meniup api pawonya sekuat tenaga. ia berharap air itu cepat mendidih. Karena semakin cepat mendidih maka semakin cepat pula ia memasak. Keringat sudah mengucur di anak rambut Wadon. Bahkan kaos lusuhnya sudah terlihat bercak- bercak basah. tak lama air di dalam pancinya kemudian mendidih membuat Wadon tersenyum. Sesegera mungkin ia menanak nasi karena ia harus ke pasar untuk membeli bahan- bahan yang akan di masaknya hari ini.

Terlihat Wadon yang berdiri dengan tegap di depan pintu. Dilihatnya cahaya matahari yang sekarang sudah terang benderang menyinarinya. Baginya cahaya matahari adalah nafasnya. Yang membuatnya hidup dan memiliki harapan. Memang segalanya telah diambil darinya, dari yang kecil hingga yang besar sekalipun. Hingga memory- memory yang seharusnya indahpun tidak dapat ia ciptakan karena dogma- dogma yang sudah klasik dan tidak lagi berdasar. Tapi ia sangat bersyukur. Sangat bersyukur Jika cahaya matahari masih dapat ia rasakan hingga pelukan hangatnya sampai pada tulang rusuknya yang paling dalam. Bebas. dan lepas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar