Sabtu, 16 Oktober 2010

MEREKA MEMANGGILKU JUJUR!

MEREKA MEMANGGILKU JUJUR!

Mereka memanggilku jujur, kata ibu dan bapaku supaya aku menjadi anak yang jujur. Tidak pernah berbohong pada siapapun, untuk apapun, sekecil zarahpun. Agar aku tidak seperti mereka yang sering bapaku sebut sebagai koruptor, yang menjujurkan dirinya sendiri di hadapan siapapun, menjujung tinggi harga diri, terlihat berwibawa sambil tersenyum bangga menjulurkan lidahnya yang panjang menjilati anggur berwarna merah di cawan berwarna emas. Tentu saja itu darah. Nikmat bukan.....
Bapaku mewanti- wanti supaya aku tidak seperti mereka, beliau sangat tidak menyukainya, katanya “jangan mengingkari hati nurani!” lirik SWAMI dalam lagunya HIO yang sering di kutip oleh bapaku, hingga aku hafal liriknya karena di putar setiap hari. Namun memang benar jika itu adalah kata- kata yang luar biasa.”jangan mengingkari hati nurani”. Jika sudah dengar kata- kata dari bapaku itu, aku jadi berfikir beribu kali untuk melakukan banyak hal. Karena bapaku itu seperti Tuhan kedua yang menunjukan padaku, ini yang namanya permen atau itu yang namanya kopi.

Mereka menyebutku jujur, katanya aku memang anak yang jujur. Tidak pernah berbohong walau harus mempertaruhkan nafas yang sudah separuh umurnya. Padahal aku hanya bicara apa adanya, karena aku hanya ingin menjadi sederhana dan baik- baik saja. Tiada hal yang akan membuatku menjadi bebas karena apa adanya. Dan aku percaya itu.

Pernah seseorang bertanya padaku “apa kau jujur namamu jujur?” awalnya aku hanya mengerutkan dahi, padahal aku dengan sangat jujur menyebutkan namaku, JUJUR! Dan pada kenyataanya tidak ada yang percaya dengan pernyataanku. Apa aku setiap saat harus mengeluarkan kartu tanda penduduku untuk menyakinkan mereka jika namaku adalah JUJUR?! Atau kata jujur itu memanglah sudah sangat asing di telinga mereka? Ah.... itu lebih masuk akal. Semua orang menutup telinganya dengan kata- kata itu, sedikitpun tidak ada yang mau mengatakanya karena kata Jujur itu bagi mereka adalah kata- kata yang sangat keramat. Hukumnya haram jika di ucapkan di negri ini. Dan juga bagiku.

Tidak ada satu perusahaan yang mau menerimaku, melihat surat lamaran kerjaku saja mereka sudah terkejut, salah tingkah dan tubuhnya langsung di banjiri oleh keringat. Padahal aku merasakan sekali jika di ruang kantor itu dinginya seperti es, untung aku memakai jaket. Tapi entah mengapa tetap saja mereka berkeringat, jika kau sapu dengan sapu tangan dan kau peras, pasti akan banyak mengeluarkan keringat itu. lalu kata- kata yang keluar dari mulut mereka hanya kata “maaf” dengan embel- embel jika saya terlalu begini atau terlalu begitu, sejuta alasan yang tak masuk akal di lontarkan di hadapan wajahku ini, hanya karena namaku JUJUR. Benar kata bapaku, seharusnya aku tidak melamar pekerjaan di kantor- kantor, entah kantor biasa atau kantor- kantor orang atas sana. Karena kata bapaku mereka tidak mau melihatku, akan mengingatkan mereka pada kebohongan- kebohongan mereka yang sudah rapi di tutupi, untuk sesuap nasi. Padahal mereka yang melakukan kebohongan itu, namun tetap saja aku yang bernama Jujur ini menjadi biang masalah hingga di pekerjakan jadi tukang sapupun mereka tidak akan sudi. Umurku sekarang sudah lebih dari 25tahun, dan statusku adalah pengangguran. Aku tidak perduli dengan omongan orang tentangku, jika aku adalah seorang sarjana gagal. Membuang banyak uang namun hasilnya nol besar, itu yang sering mereka lontarkan. Bagiku merekalah yang gagal, hanya bisa mencaci orang dan memaki, padahal itu adalah bukti jika mereka memang tidak bisa, dan mengalihkan ketidak berdayaan mereka terhadapku ini. Cerdas sekali aku pikir otak- otak manusianya.

Terkadang aku merenung sendiri, dan berfikir “apa aku ganti saja namaku ini menjadi BUDEG?” agar serasa tuli dan tidak mau mendengarkan semua hal, baik negative atau positive yang setiap harinya aku dengar? Biar aku tidak bohong dan akan selalu jujur dengan apa yang aku lihat, walau namaku sudah ku ganti menjadi BUDEG? Ah...., pengecut! Jika begitu adanya aku memang pengecut, lari dari masalahku sendiri, menyangkal kenyataan yang seharusnya memang sudah ditakdirkan. Lalu harus bagaimana? Mereka tidak pernah menerimaku? Mengusirku dengan halus dan hati- hati hanya karena aku ini manusia yang bernama JUJUR. Jika aku binatang yang bernama Jujur mungkin bisa saja aku langsung di bunuh, di mutilasi atau di goreng dan sisa tubuhku di berikan pada anjing hutan atau di sekap oleh mereka agar tidak ada lagi dimuka bumi.

Namaku Jujur, aku seorang pengangguran, dan aku telah jatuh hati dengan seorang gadis bernama SUNYI. Hanya pada dialah aku tidak dapat jujur, bagaimana tentang perasaanku terhadapnya. Padahal ingin sekali aku mengucap salam kasih untuknya di tiap detik cahaya, tiap menit, tiap jam, tiap tahun, tiap puluhan tahun, tiap hari, tiap nafasku berhembus bahkan hingga berhenti. Akan selalu aku senandungkan lagu rindu, sambil menghantarkan dekapan hangat dan senyuman untuk belahan rusuku itu. ya... hanya dengan dirinya aku menjadi seorang pengecut takut akan jujur yang sering aku junjung tinggi itu. satu hurufpun tidak akan dapat terucap jika sudah di hadapanya. Serasa lidah kelu dan pita suaraku tiba- tiba rusak. Karena aku sudah sangat terpesona denganya hanya dengan menatapnya saja. Dan seluruh tubuhku tiba- tiba kaku. Menjadi ciut untuk mengungkapkan segala rasa karena Sunyiku itu sungguh sangat menawan. Seperti surga ia akan membawamu pada kedamaian. Tidak hanya mengenali dirimu sendiri namun Sunyiku itu akan membawa kita kepada Kekasih terabadi kita. Dan aku semakin menyayanginya. Sunyi.

Namaku Jujur...
Sekarang aku sedang terbaring di padang pasir memandang ke atas. Langit.
Sungguh silau, sangat besar memang ciptaanNYA, matahari itu bersinar begitu terangnya hingga sanggup menyinari sebagian belahan bumi berjuta- juta tahun lamanya secara bergantian, tidak pernah ia mengeluh sedikitpun, walau lelah menyertainya yang sudah lanjut usia. siapa yang akan sanggup menciptakan semua itu terkeculi kekasih abadiku. Dan kalian memang harus mengakui itu. Matahari itu menggodaku sambil berulang kali memanggil namaku denggan genit.
“kenapa menggodaku?”
“karena kau jujur”
“aku tidak tahu maksudmu?”
Matahari itu tersenyum
“apa kau marah padaku karena itu?” kata si matahari
Aku terdiam, iya, untuk apa aku marah padanya? Dia tidak melakukan hal buruk secuilpun padaku, ada si.... membuatku kepanasan dan dehidrasi di sini, di padang ini. Tapi, itu memang tanggung jawabnya, untuk apa aku marah jika dia memang melakukan pekerjaanya.
“aku tidak marah padamu, hanya sedang berfikir saja”
“menakutkan sekali cara berfikirmu, hingga akupun kau sinisi, lalu apa yang kau pikirkan?”
Aku terdiam sejenak, aku ingat satu persatu hal apa saja yang aku pikirkan. Kosong. Tidak ada. Aku mengerutkan dahi, berusaha untuk mengingat apa yang kupikirkan. Tidak ada. Tidak ada yang aku pikirkan selain namaku yang tertulis jelas dengan kata JUJUR di papan tulis otaku ini. Entah terbuat dari tinta apa hingga tidak dapat di hapus sama sekali. Bukan karena aku membenci tulisan Jujur di papan tulis otaku itu, hanya saja, masih banyak hal yang harus aku tulis di situ, untuku.
“oh, aku tahu, karena namamu itu?”
Aku memandang matahari, terheran kenapa dia bisa tahu apa yang aku pikirkan.
“sudahlah, jangan di pikirkan, namamu itu sungguh luar biasa, aku sangat menyukainya...”
Aku masih terdiam sambil memandangi matahari itu. Aku tak tahu apa yang harus aku katakan padanya.
“kau ini, bersyukurlah dengan namamu, bapak dan ibumu itu tidak mungkin tanpa sebab menamaimu itu, atau kau lebih suka di beri nama pecundang? Pengecut? Atau pembohong? Atau budeg?”
“aku tidak mau, hei..., bagaimana kau tahu jika aku berfikir akan mengganti nama menjadi Budeg?” selaku karena aku terkejut dengan perkataan si matahari.
“baguslah jika kau tidak mau. Tentu saja aku tahu, setiap hari aku mengawasimu, tidak hanya kau bahkan semua pikiran dan perasaan manusia di bumi ini akupun tahu”
Aku mengerutkan dahi, aku tidak tahu apakah ini adil atau tidak, seorang matahari itu telah mengetahui segala hal tentangku. Segala perasaan dan fikiranku. Yang tidak terucap ataupun sebaliknya. Itu adalah rahasiaku, tanpa izin dariku seenaknya dia membaca segala hal tentangku. Seperti membaca lembaran buku yang bertuliskan “kisah tentang Jujur” aku tak mau itu......!
“sudahlah, kerjamu hanya menggerutu. Apa masalahnya jika aku tahu? Toh aku juga tidak bernafsu mengumbar perasaanmu kepada orang lain, ada banyak hal yang lebih penting buatku kerjakan”. Aku memandangi si matahari yang semakin lama semakin bercahaya. Jika aku tidak menggunakan kacamata, sebentar lagi pasti korneaku akan terbakar dan aku akan buta, tidak lagi perlu aku melihat dunia yang sangat ajaib ini.
Aku berdiri, sambil mengengepak badanku agar butir pasir tidak menempel pada pakaianku. Kasihan jika mereka menempel di pakaianku, banyak hal yang tidak pantas akan mereka lihat, tempatnya cukup di padang pasir ini, karena mereka memang sempurna berada di sini. Di cumbui sinar matahari.
“hendak kemana kau?”
“aku akan pulang, mengumpulkan kembali energi”
“apa kau tidak mau lihat aku tenggelam? Cahayaku indah jika sedang tenggelam”
Aku mendongak pada matahari.
“aku tahu, karena akupun sangat menyukaimu yang sedang tenggelam. Kau jadi seperti buah jeruk, hingga aku ingin mengambil dan memakan isimu yang segar itu, jika benar adannya, dunia ini akan hancur”
“hahahahahahahahaa, kau akan terbakar jika memakanku”
“aku tahu”
Aku kembali tersenyum padanya, kemudian berjalan menyusuri padang. Aku tahu jika matahari itu mengikutiku. Sepertinya dia khawatir akan keadaanku. Seonggok daging yang terpontang – panting hanya karena bernama jujur. Aku juga merasakan jika sedari tadi ia memeluku. ANGIN. Hingga tubuhku ini tidak merasakan panas yang teramat sangat. Mendamaikanku dari cahaya matahari yang setiap saat dapat memerah karena amarah. Terkadang sayup aku mendengarnya bicara.
“ apa kabar manusia?”
Aku hanya tersenyum padanya sambil mengatakan baik- baik saja. Ia kemudian menggenggam tanganku. Beruntungnya aku dapat di temani olehnya. Mungkin aku memanglah si Jujur yang tidak dapat berkawan dengan manusia. Namun aku sangatlah bahagia dapat berteman dengan angin, ataupun matahari. Mereka menerimaku apa adanya. Tidak peduli dengan namaku Jujur ataupun segala hal kekuranganku yang akan membuatmu menjadi orang yang paling menyesal mengenalku. Tidak masalah.
“terimakasih”
“untuk apa?” balas si Angin membisik di telingaku. “terimakasih kau selalu memeluku”
Aku tak mendengar jawabanya namun Aku merasakan semilir yang membuat tubuhku terasa dingin. Aku tahu jika ia menjawabku dengan hembusanya, tidak perlu mengucap tapi aku tahu jika ia sedang senang dengan ucapanku. Hembusanya penuh dengan kasih yang hangat memeluku erat. Siapa yang tidak akan mengatakan terimakasih padanya jika ia selalu memberikan kedamaian seperti itu. di selimuti damai yang membuatmu merasakan jika kau tidaklah sendiri.
“kau membesarkan diri, dapat di hitung mereka yang berterimakasih padaku. Aku bukan apa- apa untuk mereka. Seenaknya datang dan pergi. Tak berbekas pula. Mudah mereka lupakan. Tak masalah untuku”
Aku agak terdiam. Merasa sangat sedih dengan apa yang di lontarkan oleh Angin itu. lalu aku memandang matahari yang sekarang sudah terlihat agak orange sambil tersenyum padaku. Seolah sedang membanggakan diri jika dia dapat tercipta seindah itu. aku hanya tertawa melihatnya. Bukan untuk mengejeknya sombong namun karena aku sangat menyukainya. Pun dengan angin juga. Mereka adalah yang terlupakan. Siapa yang akan peduli dengan kehadiran mereka yang setiap hari memberikan siang dan malam. Dingin dan sejuk. Tidak ada. Yang mereka pedulikan hanya waktu dan tentu saja materi. Waktu membuat mereka. Kita. Aku. Kami lupa akan segala hal yang di sekitar. Baik yang hidup ataupun yang mati. Waktu yang membuat kita di kejar- kejar untuk melakukan banyak hal dan berkutat dengan penyelesaian.
“tersenyumlah..., jangan memikirkan aku”
Aku berhenti sejenak kemudian menghirup udara segar hingga membuat otaku kembali di penuhi oksigen murni dan menghilangkan segala kerumitan. Aku memandangi angin yang sedang tersenyum padaku lalu tersenyum padanya.
“aku bersyukur merasakan keberadaanmu”
“ aku juga bersyukur menghembus di tubuhmu”
Aku tahu....
Aku tahu jika matahari dan Angin itu menemaniku. Lalu untuk apa aku harus bersedih jika tidak ada manusia yang mau menerimaku hanya karena aku bernama Jujur. Toh masih banyak pula yang masih menerimaku apa adanya walau di muka bumi ini aku harus terpontang- panting karenanya, tidak masalah. Karena aku adalah Jujur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar