Sabtu, 16 Oktober 2010

SI BENCI YANG TAKUT BERCAHAYA

Aku melumat bibirnya
Lembut, beraroma angin dalam senja
Aku juga menciumi lehernya
Lembut, seperti benang- benang sutra
Kemudian aku mendekap tubuhnya
Hangat, bak terselubung bulu yang tebal tak terkira
Aku membisik padanya
“bunga matahari....., aku akan menghampirinya”
Ia memandangku, tak menjawab pernyataanku,
Matanya membulat seperti huruf o hingga membuatku ingin tertawa
Mirip seperti lubang sumur yang menunggu ember untuk merenggut air maninya
“ tidak usah terkejut, aku tahu itu karena kaupun tidak mau, mengharuskan aku”
Aku melepaskan pelukan itu
Menghadapkan bagian- bagian tubuhku pada langit yang sudah gelap
Seperti warna kopi aku rasa
Di hiasi bintang- bintang seperti toping coklat yang bersinar terang benderang
Bahkan bersahutan dengan cahaya bulan.
Aku tahu jika dia sedang memandangiku yang sedang menatap langit
“aku membencimu, sungguh membencimu, aku pikir itu tidak akan merugikanmu”
Ia masih memandangku, kali ini dengan tatapanya yang sendu
Sesekali si bintang yang bertengger di hadapanku itu berkedip padaku
Menggodaku supaya aku tersenyum dengan si benci itu
“tapi aku akan selalu mendekapmu”
Kata si benci yang sekarang sudah terbaring di sampingku
Perlahan Aku memandanginya
Tubuhnya yang hitam terlihat memancar hingga membuatku silau
“hahahaha, kau silau? Bukankah kau yang memberikan cahayamu untuku?
Sekarang akulah si super star itu?
“aku tahu....” kataku sabil terbaring di posisi semula
Aku mencuri pandang ke arahnya dia yang memandangku tanpa ekspresi
“kau terkejut”
“tidak”
“baguslah” jawabku sambil tersenyum
Aku memang merasakan jika aku dan dia semakin lama semakin menghilang
Di paksa untuk menghilang
Dan semakin lama harus semakin memudar
“aku benci bersinar” kata si benci sambil memandang langit.
“hahahaha, lucu sekali, si benci yang takut bersinar” jawabku
“lihatlah dia?! Aku juga benci dengan ekspresinya,bodoh?!”
Aku memandang dia terheran mendengar ucapan si benci
“hai, dua orang sudah yang membencimu....”
“aku tahu” jawab dia datar
“ah..., kau memang menyebalkan!”
Dia tertawa lantang, hingga gema angkasa
Akupun hampir saja menutup indraku agar tak terluka olehnya
“ sungguh aku benci dengan tawamu itu”
“aku juga benci dengan polosmu itu!” kata si benci
Dia kemudian memandangku kembali dengan lekat
“pergilah...., menjauhlah...., menghilang dan memudarlah....” sambil memegang tanganku erat
“aku tahu...., tanpa harus kau beri tahu akupun sudah tahu”
Aku lepaskan genggaman tanganya, kemudian memandang si benci yang masih bersinar terang
Membuat mataku silau karenanya
Aku membelah dadaku dengan tanganku sendiri
Kurobek daging- daging tak bernyawa itu dengan sepenuh hati
Aku mengambil jantungku yang terlihat masih berdenyut cepat
Aku letakan jantungku di atas dadanya sambil tersenyum
“untukmu, aku tidak mau menyimpanya, menyimpan semua debaran tentangmu”
Dia hanya menatapku lagi, tak sedikitpun kata yang keluar dari bibirnya yang lembut itu
Dia memandangi jantungku yang sedari tadi sudah berdebar dengan cepatnya
Aku kembali tersenyum, aku lihat kembali langit di atas sana
Langit itu aku lihat berwarna orange
Benarkan dugaanku seperti buah jeruk yang sudah masanya
Si benci itu memegang tanganku
Aku memandangnya kemudian kembali tersenyum
Akupun menggenggam tanganya yang hangat
“aku kembalikan cahayamu....”
“ah...., biar saja, aku pinjamkan untukmu”
“aku benci terlihat silau”
“kau itu memang berkilau”
“tapi aku lebih suka berwarna hitam, lekat, seperti kopi”
“tenang saja, akan aku ambil cahayaku darimu perlahan, namun tidak sekarang,
Karena akupun mendapat cahaya dari bunga matahari”
“apa kau janji?”
“aku janji”

3 komentar:

  1. aku takut...
    karena aku tergoda jika kau bercahaya

    BalasHapus
  2. hahahahahaha,
    tapi aku suka dia bercahaya.
    aku jadi bisa merasakan bagaimana dia yang bercahaya

    BalasHapus